Senin, 22 Desember 2008

RUU BHP sebuah bentuk wanprestasi atau bukan??

Ternyata badan legislatif sudah seperti acara gossip - gossip artis yang kadang - kadang selalu ada saja yang kontroversi dan selalu dibicarakan, dari RUU KY dan MA tentang usia pensiun hakim agung hingga RUU pornografi hingga sekarang keluar lagi yang terbaru RUU BHP. . . . .
entah ini bisa disebut sebuah hantaman dalam dunia pendidikan bagi masyarakat atau sebuah pengalihan masyarakat saja,
entah ini sebuah manajemen konflik dari pemerintah agar masalah - masalah yang lain menjadi terkubur, entah sekarang sudah tidak ada kabar lagi perkembangan di aceh, masalah lumpur lapindo, kerusuhan di sulawesi, hingga papua merdeka yang jelas kita akan membahas RUU BHP yang telah dikeluarkan oleh badan legislatif

ada beberapa pasal RUU BHP yang akan kita teliti atau bahasa konstitusinya "judicial review" tentang penjelasan BHP ini sendiri dijelaskan bahwa :
1. BHP merupakan badan yang dapat didirikan oleh pemerintah atau non-pemerintah (non-pemerintah disini orang yang merasa peduli akan dunia pendidikan)
2. adanya ke ikut sertaan badan eksekutif dan beberapa non departemen dalam struktur jabatan dalam pengurus BHPP-D
3. mempunyai wewenang control extern seperti Departemen Pendidikan
4. adanya putusan kebijakan petinggi yang dimana menggunakan sistem mufakat tetapi dapat diatur lebih lanjut dalam Anggaran Dasar BHP

beberapa point yang dapat kita kritik atau mungkin kita dapat pelajari sebuah pembudayaan bahwa RUU yang selalu dikeluarkan oleh badan legislatif dengan dalih kepentingan menuju masa depan yang baik tetapi mempunyai beberapa segi politik / yang berkepentingan

Point 1 dapat kita simpulkan bahwa beberapa fungsi dalam pengawasan suatu instansi pendidikan bahwa Depdiknas dapat dikatakan meninggalkan atau lepas tanggung jawab dalam melakukan pengawasan karena adanya BHP ini sendiri walaupun dikatakan dengan dalih bahwa ini salah satu perwujudan tridarma perguruan tinggi yang menjadikan pengawasan menjadi lebih efektif, mungkin nanti kalo RUU ini disahkan kita dapat lihat siapa saja yang akan menduduki BPH ini apakah akan berjalan efektif atau hanya menjadi salah satu celah untuk menemukan essensi korupsi, secara dalam hal pendanaan BHP ini sendiri akan di support oleh APBN dan APBD

Point 2 bisa kita simpulkan kembali bahwa beberapa badan eksekutif dari menteri terkait, walikota maupun bupati menjadi petinggi dalam BHPP/D sepertinya menjadi tambahan tugas bagi walikota dan bupati dalam hal pendidikan, untuk mengurusi ekonomi daerah saja masih banyak tukang minta-minta bertebaran di jalan mencari nafkah atau bisa dapat dikatakan kontrak "Mafia" dengan pemerintah daerah masih memegang kendali atas ini. mungkin ini orang2 / kaki tangannya yang berkepentingan

Point 3 salah satu cara yang efektif kah dengan adanya BPH ini dalam melakukan kontrol tersebut atau BPH ini hanya sebagai penyambung antara Depdiknas dengan BPH untuk melakukan pengawasan. kita dapat simpulkan bahwa Departemen pendidikan tersebut tidak becus atau tidak mampu dalam melaksanakan kewajibannya mungkin lebih baik bubarkan saja sekalian Departemen Pendidikan dan di ganti

Point 4 lucunya lagi keindahan kata2 yang digunakan badan legislatif dalam membuat UU, dijelaskan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh BHP diambil secara mufakat tetapi ada penjelasan kembali itu akan diatur dalam anggaran dasar BPH, sudah jelas - jelas ini merupakan celah dalam monopoli kebijakan secara sepihak, dan menjadi pengaruh besar dalam kebijakan dengan adanya intervensi dari pihak luar yang berkepentingan

sudahlah para kapitalis sudah tidak becus dalam mengurusi negara ini jika masih mengedepankan egoisme

Senin, 01 Desember 2008

Mengkaji Ulang RUU KY dan MA

salah satu isu kemaren yang sedang hangat dan yang menarik perhatian publik dalam pembahasan RUU KY dan RUU MA adalah ketentuan yang mengatur tentang usia pensiun Hakim Agung. Dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b RUU MA yang disusun DPR menyebutkan bahwa Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena telah berusia 65 tahun. Sementara dalam daftar Inventarisasi Masalah (DIM) No. 45, Pemerintah mengusulkan perubahan batas usia pensiun menjadi 70 tahun dengan dasar 3 pertimbangan;
1. Hakim Tinggi usia pensiunnya 65 tahun.
2. Tugas Hakim Agung tidak semata teknis hukum tetapi menuntut kepekaan tinggi akan rasa keadilan, karena itu mereka diidentikkan dengan keadilan (justices)
3. Di beberapa negara usia pensiun Hakim Agung 70 tahun (Thailand, Australia, Korea, Philipina, Malaysia).

ketiga pertimbangan di atas, menurut Bivitri Susanti tidak dapat dijadikan landasan perubahan usia pensiunan dari 65 tahun menjadi 79 tahun. dinaikannya usia pensiun hakim pada Pengadilan Tinggi dengan otomatis juga dinaikan. Tingginya kepekaan terhadap rasa keadilan tidak ditentukan oleh usia. Sementara membandingkan usia pensiun Hakim Agung di negara kita dengan usia pensiun Hakim Agung di beberapa negara lain bukan merupakan tindakan yang tepat, karena sistem hukum, sistem sosial, dan sistem politik yang berlaku berbeda - beda
Media Indonesia, 15 September 2008

Indonesia Corruption Watch - LBH Jakarta dengan tegas menyatakan menolak terhadap usulan pemerintah untuk memperpanjang batas usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun dengan memberikan argumentasi;
1. angka harapan hidup dan tingkat kesehatan. menurut data statistik dai badan pusat statistik (BPS) dan Departemen Kesehatan tahun 2003, angka harapan hidup orang Indonesia paling rendah se ASEAN yaitu 65 Tahun, naik pada tahun 2006 menjadi 66,2 tahun. dengan demikian diatas usia 66 tahun, kondisi orang indonesia menurun karena dipengaruhi beberapa faktor.
2. Usia 79 tahun tergolong usia tidak produktif dikelompokanan menjadi 3 yaitu belum produktif (0-14 tahun), produktif (15-65 tahun) dan tidak produktif (66 tahun keatas). berdasarkan kategorisasi itu, jelas bahwa Hakim Agung dengan usia 70 tahun termasuk kriteria tidak produktif, akan menghambat proses penanganan perkara yang sekarang menumpuk di MA.
3. perbandingan dengan profesi atau lembaga lainnya. batas usia 70 tahun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jabatan publik lainnya seperti Pegawai Negeri sipil (56 tahun), ketua dan wakil ketua Pengadilan Negeri (62 tahun), ketua dan wakil ketua pengadilan tinggi (65 tahun), polisi dan jaksa (58-60 tahun) dan Mahkamah Konstitusi (67 tahun)
http://antikorupsi.org/indo/index.php?option=com, diakses tanggal 17 september 2008

Meski argumentasi pemerintah yang mengusulkan batas usia pensiun Hakim Agung sangat lemah, namun dalam Rapat Panja yang dilaksanakan pada tanggal 15 september 2008, terlihat sebagian anggota Panja RUU MA mendukung batas usia pensiun hakim agung 70 tahun. melihat perkembangan pembahasan Panja RUU MA, sangat dimungkinkan komisi III akan melupakan rumusan dalam RUU MA yang disusun DPR dengan usia pensiun hakim agung 65 tahun, tetapi justru akan mengesahkan usulan pemerintah dengan usia pensiun 70 tahun. apabila kondisi demikian yang terjadi, maka DPR khususnya komisi III telah melenceng jauh dari semangat reformasi peradilan yang mengharuskan adanya regenerasi Hakim Agung untuk menghindari terjadinya kekuasaan kehakiman. Akibat lebih jauh adalah kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi Hakim Agung sebagaimana diamanatkan konstitusi praktis tidak dapat dijalankan minimal selama 3 tahun. dalam rentang waktu 3 tahun dapat dipastikan tidak akan ada Hakim Agung yang pensiun, kecuali ada Hakim Agung yang berhenti dengan alasan lain atau meninggal.

Semangat Aktivis

Semangat Aktivis